Jejak Buncit Kartosoewirjo (1)
Dua Pulau Ubi tenggelam sebelum eksekusi
Eksekusi Kartosoewirjo. ©2012 Merdeka.com
Nama
Pulau Ubi di Kepulauan Seribu mencuat setelah peluncuran buku Hari
Terakhir Kartosoewirjo oleh Fadli Zon Library di Galeri Cipta II,
Cikini, Jakarta Pusat, Rabu pekan lalu. Buku memuat 81 foto detik-detik
terakhir pemimpin Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) itu
menginformasikan lokasi eksekusi matinya di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu,
pada 5 September 1962.
Namun, menurut Lurah Pulau Untung Jawa
Agung Maulana Saleh, ada dua nama pulau itu, yakni Ubi Besar dan Ubi
Kecil. “Dalam catatan kelurahan ada Pulau Ubi Kecil dan Pulau Ubi
besar,” katanya saat ditemui merdeka.com kemarin dalam acara Lebaran Betawi di Kelapa Gading, Jakarta Utara.
Berdasarkan
dokumen laporan warga di kantornya, Agung memastikan dua pulau itu
sudah tenggelam. Data itu merupakan catatan turun-temurun Kelurahan
Pulau untung Jawa. Pihaknya memantau pulau-pulau terdekat berdasarkan
laporan warga yang berlayar atau mencari ikan. “Pulau Ubi Kecil
tenggelam pada 1949 dan Pulau Ubi Besar hilang pada 1956,” ujar Agung.
Mulanya,
Pulau Ubi Besar berpenghuni, namun karena mulai terkikis oleh ombak
warga terpaksa pindah. Pilihannya adalah lokasi terdekat, yakni Pulau
Untung Jawa. Bedol desa itu juga diketahui dan disetujui oleh pemerintah
saat itu.
Catatan perpindahan penduduk itu ditandai dengan
sebuah tugu. Di sana tercatat perpindahan berlangsung pada 13 Februari
1954. Lokasi tugu di tengah Pulau Untung Jawa. Informasi itu juga
dimasukkan dalam brosur perjalanan wisata oleh Mitra Karya Club, agen
yang berkantor di Pulau Untung Jawa.
“Sekitar dua tahun setelah
kepindahan penduduk, Pulau Ubi Besar sudah hilang,” Kata Agung.
Sedangkan hasil orolannya dengan sejumlah sesepuh di Pulau Untung Jawa,
mereka tidak pernah mendengar Kartosoewirjo dieksekusi di Pulau Ubi.
Bahkan, menurut dia, hampir sebagian besar penduduk di kelurahannya
hanya mengetahui makam Kartosoewirjo di Pulau Onrust.
Sebelum
munculnya buku itu, banyak kalangan meyakini makam Kartosoewirjo di
Pulau Onrust, juga bagian dari Kepulauan Seribu. “Saya baru tahu tempat
eksekusi itu di Pulau Ubi setelah dihubungi Fadli Zon sebelum peluncuran
buku,” ujar Sardjono, putra bungsu Kartosoewirjo, kepada merdeka.com, Sabtu siang pekan lalu di Garut, Jawa Barat.
Tenggelamnya
pulau Ubi Besar dan Ubi Kecil ini diperkuat oleh keterangan Sobirin,
buruh bongkar muat di Pelabuhan Muara Angke, Jakarta Utara. Namun, dia
tidak tahu kapan kedua pulau itu lenyap.
Selain karena abrasi,
Sobirin memperkirakan Ubi Besar dan Ubi Kecil tenggelam lantaran
penggalian pasir besar-besaran buat membangun Bandar Udara Internasional
Soekarno-Hatta di Cengkareng, Tangerang, Banten. “Seingat saya, pasir
dari Pulau Ubi dulu banyak disedot untuk membangun Bandara
Soekarno-Hatta,” ujar Sobirin ditemui di lokasinya bekerja, Ahad sore
lalu.
Situs Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional, www.bakorsurtanal.go.id
masih mencantumkan nama dan koordinat Pulau Ubi Besar. Namun
berdasarkan foto satelit, pulau itu sudah tidak ada. Sedangkan situs
resmi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, www.jakarta.go.id, hanya menulis nama Pulau Ubi Kecil, bagian dari wilayah administrasi Kelurahan Pulau Untung Jawa.
Fadli
Zon yakin lokasi eksekusi sekaligus pusara Kartosoewirjo di Pulau Ubi.
itu berdasarkan foto dan keterangan foto yang diperoleh melalui hasil
lelang. "Foto itu milik seorang kolektor," katanya saat dihubungi merdeka.com kemarin. Tapi dia menolak mengungkap identitas kolektor itu.
Dia
mengakui Pulau Ubi sudah tenggelam. Dia mengaku mendengar soal itu
sekitar 1990-an hingga 2000-an. Dia menambahkan stafnya sudah tiga kali
ke lokasi, yakni tahun lalu, tiga bulan lalu, dan Ahad pekan lalu.
"Menurut cerita Pak Sardjono, sekitar 1963-1964, ada utusan dari Bung
Karno menyampaikan eksekusi dilaksanakan di Pulau Ubi," ujar Fadli.
[fas]
Selasa, 11 September 2012 12:12:31
Jejak Buncit Kartosoewirjo (2)
Kartosoewirjo, tegas dalam soal ibadah
kartosoewirjo. blogspot.com
Sejak
munculnya buku kumpulan foto Hari Terakhir Kartosoewirjo diterbitkan
oleh Fadli Zon Library, Rabu pekan lalu, muncul informasi baru. Sejak
Tentara Nasional Indonesia (TNI) menangkap deklarator Negara Islam
Indonesia itu pada 4 Juni 1962, kabar mengenai Kartosoewirjo begitu
misterius hingga kini. Bahkan, lokasi kuburannya tidak pasti.
Alhasil,
sosok Kartosoewirjo menjelma menjadi mitos. Dia diyakini bisa meramal
sebuah peristiwa. Belum lagi dengan dua pusaka, keris Ki Dongkol dan
Pedang Ki Rompang, dianggap bertuah dan banyak membantu dalam
persembunyiannya.
Menurut Asvi Marwan Adam, sejarawan Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), munculnya kumpulan foto hari-hari
terakhir Kartosoewirjo seperti bertutur dengan kronologis. Foto itu
sudah menunjukkan bagaimana negara memperlakukan hukuman mati kepada
orang dianggap pemberontak. Meski begitu, negara memberikan hak
Kartosoewiryo bertemu keluarganya sebelum dieksekusi.
Namun, Asvi
masih meragukan keaslian kumpulan foto itu, termasuk keterangan di
dalamnya. Ini bukan soal bagaimana menafsir sebuah sumber sejarah, namun
bagaimana sumber itu perlu diuji keabsahannya.
Sedangkan
Sardjono, putra bungsu Kartosoewirjo, meyakini foto-foto diperoleh Fadli
Zon lewat lelang. Dia membenarkan lima kakaknya: Muhamad Darda, Tahmid
Basuki, Danti, Kartika, dan Komalasari, hadir dalam pertemuan terakhir
itu. “Dulu, saya sempat punya acara khusus makan bersama keluarga untuk
mengenang peristiwa itu, seperti perjamuan terakhir dilakukan Nabi Isa
dan murid-muridnya” ujar Sardjono.
Ketika ayahnya ditangkap,
Sardjono masih berumur sekitar lima tahun. Namun, ia mengaku masih ingat
saat dia bersama keluarga dan pasukan ayahnya kerap berpindah-pindah
menghindari kejaran tentara. Dari Gunung Galunggung hingga Gunung
Bataraguru di Garut, Jawa Barat.
Sardjono mengenang ayahnya
sangat tegas menjalankan ibadah meski saat bergerilya. Kartosoewirjo
tidak segan menghukum anak-anaknya yang meninggalkan salat. “Kadang
hukumannya membaca istighfar tiga ribu kali dan diawasi Bapak atau salah
satu anggota pasukan."
Dia belum lupa Kartosoewirjo saban malam
mengikuti perkembangan berita melalui radio di gubuknya. Ukurannya cukup
besar dengan tenaga dari 40 baterai. Saking beranta, radio itu harus
diangkut beberapa orang. Pasukan ayahnya juga suka mencuri dengar dari
luar seraya mengendap.
Buat mengusir jenuh, Kartosoewirjo
meminta anak buahnya bermain reog atau monolog lucu diiringi gendang
kecil. “Semoga dengan foto-foto eksekusi ini, mitos Bapak bisa hilang.
Ia manusia biasa seperti yang lain,” kata Sardjono.
Merdeka.com
Sabtu pekan lalu berupaya menyusuri jejak terakhir Kartosoewirjo, mulai
dari lokasi penangkapannya di Gunung Galunggung hingga Hunung Geber,
Majalaya, Garut. Sayangnya, Sarjono kerap lupa soal tempat-tempat pernah
dijejaki ayahnya itu. Maklum saja, saat itu dia masih digendong.
[fas]
Selasa, 11 September 2012 12:50:33
Jejak Buncit Kartosoewirjo (3)
Mencari pusara Kartosoewirjo
Kartosoewirjo. Handout/Hari Terahir Kartosoewirjo/Fadli Zon
Bagi
Sardjono, foto-foto itu sudah menjawab pertanyaan tentang eksekusi mati
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, Imam Darul Islam/Tentara Islam
Indonesia (DI/TII). Kisah hari-hari terakhir menjelang ajal, hingga
lokasi terakhir pemakaman bapaknya kian benderang. Namun bungsu dari
lima saudara ini lebih memilih berdamai dengan nasib. Tidak dendam, juga
tidak hendak menggugat pemerintah.
Namun sebagai anak, dia
menyesalkan eksekusi mati kepada bapaknya. “Apa harus dieksekusi mati,
sudah tua seperti itu, dipenjara juga nanti pasti mati,” kata dia kepada
merdeka.com sambil menikmati makan siang di rumah makan Padang di Garut, Jawa Barat, Sabtu pekan lalu.
Kartosoewirjo
ditembak mati pada 5 September 1962. Hari-hari terakhir sang imam
menjelang hukuman tembak direkam jelas dalam 81 esai foto lama karya
anonim, lengkap dengan keterangan gambar. Jepretan foto-foto itu dicetak
dalam buku berjudul Hari Terakhir Kartosoewirdjo karya politikus Partai
Gerindera, Fadli Zon. Buku diluncurkan Rabu pekan lalu.
Hingga
kini siapa pemotret eksekusi tersebut belum jelas. Fadli Zon mengaku
mendapatkan foto dari seorang kolektor. Dia bertemu dalam sebuah acara
lelang benda-benda filateli dan numismatik bertajuk Java Auction di
Hotel Redtop, Agustus 2010. Dia meyakinkan kolektor itu, foto lebih aman
bila disimpan di perpustakaanya, Fadli Zon Library.
Buku setebal
91 halaman itu dianggap telah mematahkan buku-buku sejarah ihwal lokasi
eksekusi dan makam sang Imam. Sardjono dan keluarga misalnya,
sebelumnya menganggap bapaknya dieksekusi dan dimakamkan di Pulau
Onrust, Kepulauan Seribu. Sebelum terbitnya buku itu, dia beberapa kali
berziarah ke sana. Tapi kini dia harus berpikir ulang.
“Sekarang
mana yang benar. Di Onrust atau di Pulau Ubi? Katanya selama ini di
Onrust, saya selalu ke sana,” kata dia. Dalam keterangan foto, lokasi
eksekusi mati dan pemakaman Kartosoewirjo memang ditulis di Pulau Ubi.
Dalam
buku diceritakan perjalanan Kartosoewirjo menjelang eksekusi. Foto
pertama bercerita tentang pertemuan keluarga, kemudian menampilkan
perjalanan di dalam kapal, hingga proses eksekusi di Pulau Ubi. Juru
foto mengabadikan lengkap detik-detik menjelang hukuman tembak itu.
Begitu pula dengan pemakaman jenazah.
Bila dokumen foto dan
keterangan-keterangan itu benar, Sardjono berharap ada penelusuran
makam. Tujuannya buat mencari kebenaran lokasi makam. Menurut dia,
keluarga mempunyai hak mengetahui lokasi persis pusara bapaknya. ”Tapi
kami ini mau mengadu ke mana. Saya berharap ada yang mau memfasilitasi,
dilakukan uji forensik, menggali makam buat mencari kebenaran,” ujarnya.
Lalu
bagaimana perasaannya setelah melihat foto? ”Foto itu telah
menceritakan semuanya. Masyarakat pasti bisa menyimpulkan bagaimana
keadaan saat itu. Kesimpulan saya serahkan kepada masyarakat, silakan
mau komentar apa,” ujarnya.
Hanya satu permintaannya, di mana sesungguhnya kubur bapaknya itu.
[fas]
Selasa, 11 September 2012 13:09:36
Jejak Buncit Kartosoewirjo (4)
Takluk di Batara Guru, mati di Pulau Ubi
Kisah Soekarno teken persetujuan eksekusi mati sang sahabat karib
Setelah 50 tahun menjadi teka-teki, misteri eksekusi mati Imam dan
Pimpinan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Sekarmadji
Maridjan Kartosoewirjo akhirnya terungkap.
Melalui bukunya ‘Hari terakhir Kartosoewirjo: 81 Foto Eksekusi mati Imam
DI/TII’, sejarawan dan budayawan Fadli Zon mengungkap Kartosoewirjo
dieksekusi mati dan dikuburkan di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu.
Eksekusi mati terhadap Kartosoewirjo dilakukan pada September 1962
atas persetujuan Presiden Soekarno. Saat itu Bung Karno mengaku
keputusan untuk menandatangani eksekusi mati itu merupakan salah satu
hal terberat dalam hidupnya.
Bahkan kabarnya, sebelum Bung Karno bersedia menandatangani vonis
mati itu, sang proklamator berkali-kali menyingkirkan berkas eksekusi
mati Kartosoewirjo dari meja kerjanya. Hal itu dilakukannya bukan tanpa
alasan, Bung Karno dan Kartosoewirjo sudah sejak lama bersahabat.
Keduanya sama-sama berguru pada orang yang sama yakni HOS
Tjokroaminoto. Saat itu keduanya tinggal di sebuah rumah kontrakan milik
tokoh Sarekat Islam itu.
“Di tahun 1918 ia adalah seorang sahabatku yang baik. Kami bekerja
bahu membahu bersama Pak Tjokro demi kejayaan Tanah Air. Di tahun 20-an
di Bandung kami tinggal bersama, makan bersama dan bermimpi
bersama-sama. Tetapi ketika aku bergerak dengan landasan kebangsaan, dia
berjuang semata-mata menurut azas agama Islam,” kata Soekarno dalam
buku ‘Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat’ Karya Cindy Adams, Terbitan
Media Pressido.
Perbedaan ideologi antara Soekarno dan Kartosoewirjo itu
mengakibatkan keduanya berseberangan dan mengambil jalan masing-masing.
Bahkan, Kartosoewirjo berusaha menumbangkan Soekarno dengan
Pancasilanya.
Pada 7 Agustus 1949, Kartosoewirjo memproklamasikan Negara Islam
Indonesia (NII) di Tasikmalaya. Dengan militansi yang dimilikinya,
Kartosoewirjo melebarkan gerakan dan pengaruhnya hingga ke sebagian
Pulau Jawa, Aceh, dan Sulawesi Selatan.
Saat itu, ia dengan DI/TII nya memilih hutan-hutan di pegunungan Jawa
Barat sebagai basis perjuangan melawan pemerintahan Bung Karno.
Sejumlah percobaan pembunuhan kepada Bung Karno pun dilakukan.
“Bunuh Soekarno. Dialah penghalang pembentukan negara Islam.
Soekarno menyatakan bahwa Tuhannya orang Islam bukan hanya Tuhan.
Soekarno bekerja
menentang kita.Soekarno menyatakan bahwa Indonesia harus berdasarkan
Pancasila, bukan Islam. Sebagai jawaban atas tantangan ini kita harus
membunuh Soekarno,” kata Kartosoewirjo di tahun 1950an.
Percobaan pembunuhan terhadap
Bung Karno hampir
berhasil dilakukan. Empat orang pria tiba-tiba melemparkan sejumlah
granat ke arah Bung Karno. Saat itu, 30 November 1957, Bung Karno baru
saja selesai menghadiri acara malam amal di Perguruan Cikini.
Beruntung Bung Karno selamat dari kejadian itu. Namun, puluhan korban
tak berdosa menjadi korban. Kemudian saat hari raya Idul Adha percobaan
pembunuhan kepada Bung Karno kembali terjadi.
Bung Karno yang kala itu tengah melaksanakan salat Idul Kurban
bersama umat muslim lainnya di lapangan rumput Istana Merdeka, tiba-tiba
mendapat berondongan tembakan dari seorang pria. Namun, Bung Karno
kembali selamat.
Untuk menumpas gerakan sahabatnya itu, Bung Karno kemudian
mengirimkan tentara dari Divisi Siliwangi dan satuan-satuan lain.
Kartosoewirjo akhirnya berhasil ditangkap di Gunung Geber, Jawa Barat,
pada 4 Juni 1962 dan dieksekusi mati tiga bulan kemudian.
Apa yang ada di kepala anda, saat melihat rangkaian foto
yang merekam hari terakhir kehidupan seseorang dan diakhiri dengan
berondongan peluru regu tembak?
Saya bergidik. Buku foto bersampul hijau itu berisi 81 foto hari
terakhir Kartosuwiryo, Pimpinan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia,
mulai dari pertemuan terakhir Kartosoewirjo dengan istri dan lima
anaknya, makan siang, perjalanannya ke pulau Ubi (kepulauan Seribu),
hingga eksekusi oleh regu tembak dan pemakamannya.
Kartosuwiryo dieksekusi pada tanggal 16 September 1962. Kematiannya
menjadi misteri selama 50 tahun. Selama ini masyarakat bahkan
keluarganya percaya bahwa Kartosuwiryo dieksekusi lalu dimakamkan di
pulau Onrust, kepulauan Seribu. Tidak ada bukti atau rekam sejarah apa
pun yang membuktikan hal ini, hingga pada bulan September 2012, Fadli
Zon menerbitkan buku foto berjudul “Hari Terakhir Kartosuwiryo.”
Rangkaian foto dalam buku itu membuat saya terlempar ke masa lalu,
seolah ikut menyaksikan secara langsung peristiwa mengerikan itu.
Mengikuti perjalanan sang imam besar melangkah menuju tiang eksekusinya
dengan mata tertutup untuk ditembak mati disana menggetarkan mental
saya. Foto-foto yang diambil secara berurutan itu mampu berbicara,
bercerita tanpa caption. Tidak diketahui siapa fotografernya, tapi
menurut Fadli Zon dalam catatannya di buku tersebut, sangat mungkin
diambil oleh salah satu anggota TNI yang bertugas hari itu.
Dari seluruh rangkaian foto dalam buku itu, ada satu foto yang paling
menarik perhatian saya. Foto dengan emosi dan cerita terkuat.
Gila.
Foto diatas memperlihatkan kepala regu tembak yang memastikan
kematian Kartosuwiryo dengan sebuah tembakan di kepalanya. Sebelumnya,
berondongan peluru dari 12 orang anggota regu tembak telah menembus
tubuh ringkih Kartosuwiryo. Mental kepala regu ini luar biasa. Saya
tidak bisa membayangkan persiapan yang dilakukannya sebelum menarik
pelatuk pistolnya, lalu menghadapi serangan batin pasca eksekusi itu.
Mungkin mentalnya dilatih layaknya Jason Bourne.
Bagaimana dengan Kartosuwiryo? Dia menghadapi kematiannya dengan
berani. Bagi seorang muslim yang percaya bahwa dirinya sedang berjihad,
kematian adalah kemenangan. Mungkin itu yang memberinya kekuatan
sedemikian besar, hingga tidak terlihat wajah cemas atau takut pada
rangkaian foto sebelumnya. Pun dalam kondisi sekarat setelah ditembus
peluru regu tembak, kepalanya masih tetap tegak. Menantang. Berusaha
menghembuskan napas terakhir tanpa tunduk terhadap musuhnya. Gila.
Buku foto ini menurut saya berhasil mengungkap fakta sejarah dengan
sangat nyata. Bukan hanya berdasarkan teks atau teori ngehe para
sejarawan yang kadang berkesan sotoy. Foto selalu mampu berbicara lebih
banyak daripada teori, selama bisa dibuktikan keasliannya dan tidak
ditafsirkan secara visual semata. Ini adalah gaya baru dalam penulisan
sejarah Indonesia. Buku ini adalah pionirnya.