Monday, 19 May 2014

Jejak Buncit Kartosoewirjo



Dua Pulau Ubi tenggelam sebelum eksekusi


Dua Pulau Ubi tenggelam sebelum eksekusi
Eksekusi Kartosoewirjo. ©2012 Merdeka.com
Reporter: Islahudin


Kartosoewirjo, tegas dalam soal ibadah


Kartosoewirjo, tegas dalam soal ibadah
kartosoewirjo. blogspot.com
Reporter: Islahudin


Mencari pusara Kartosoewirjo


Mencari pusara Kartosoewirjo
Kartosoewirjo. Handout/Hari Terahir Kartosoewirjo/Fadli Zon
Reporter: Mohamad Taufik

Jejak Buncit Kartosoewirjo (4)

Takluk di Batara Guru, mati di Pulau Ubi


Takluk di Batara Guru, mati di Pulau Ubi 

Kisah Soekarno teken persetujuan eksekusi mati sang sahabat karib


Kisah Soekarno teken persetujuan eksekusi mati sahabat karib
Setelah 50 tahun menjadi teka-teki, misteri eksekusi mati Imam dan Pimpinan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo akhirnya terungkap.

Melalui bukunya ‘Hari terakhir Kartosoewirjo: 81 Foto Eksekusi mati Imam DI/TII’, sejarawan dan budayawan Fadli Zon mengungkap Kartosoewirjo dieksekusi mati dan dikuburkan di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu.

Eksekusi mati terhadap Kartosoewirjo dilakukan pada September 1962 atas persetujuan Presiden Soekarno. Saat itu Bung Karno mengaku keputusan untuk menandatangani eksekusi mati itu merupakan salah satu hal terberat dalam hidupnya.
Bahkan kabarnya, sebelum Bung Karno bersedia menandatangani vonis mati itu, sang proklamator berkali-kali menyingkirkan berkas eksekusi mati Kartosoewirjo dari meja kerjanya. Hal itu dilakukannya bukan tanpa alasan, Bung Karno dan Kartosoewirjo sudah sejak lama bersahabat.

Keduanya sama-sama berguru pada orang yang sama yakni HOS Tjokroaminoto. Saat itu keduanya tinggal di sebuah rumah kontrakan milik tokoh Sarekat Islam itu.
“Di tahun 1918 ia adalah seorang sahabatku yang baik. Kami bekerja bahu membahu bersama Pak Tjokro demi kejayaan Tanah Air. Di tahun 20-an di Bandung kami tinggal bersama, makan bersama dan bermimpi bersama-sama. Tetapi ketika aku bergerak dengan landasan kebangsaan, dia berjuang semata-mata menurut azas agama Islam,” kata Soekarno dalam buku ‘Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat’ Karya Cindy Adams, Terbitan Media Pressido.

Perbedaan ideologi antara Soekarno dan Kartosoewirjo itu mengakibatkan keduanya berseberangan dan mengambil jalan masing-masing. Bahkan, Kartosoewirjo berusaha menumbangkan Soekarno dengan Pancasilanya.

Pada 7 Agustus 1949, Kartosoewirjo memproklamasikan Negara Islam Indonesia (NII) di Tasikmalaya. Dengan militansi yang dimilikinya, Kartosoewirjo melebarkan gerakan dan pengaruhnya hingga ke sebagian Pulau Jawa, Aceh, dan Sulawesi Selatan.

Saat itu, ia dengan DI/TII nya memilih hutan-hutan di pegunungan Jawa Barat sebagai basis perjuangan melawan pemerintahan Bung Karno. Sejumlah percobaan pembunuhan kepada Bung Karno pun dilakukan.
“Bunuh Soekarno. Dialah penghalang pembentukan negara Islam. Soekarno menyatakan bahwa Tuhannya orang Islam bukan hanya Tuhan. Soekarno bekerja menentang kita.Soekarno menyatakan bahwa Indonesia harus berdasarkan Pancasila, bukan Islam. Sebagai jawaban atas tantangan ini kita harus membunuh Soekarno,” kata Kartosoewirjo di tahun 1950an.

Percobaan pembunuhan terhadap Bung Karno hampir berhasil dilakukan. Empat orang pria tiba-tiba melemparkan sejumlah granat ke arah Bung Karno. Saat itu, 30 November 1957, Bung Karno baru saja selesai menghadiri acara malam amal di Perguruan Cikini.

Beruntung Bung Karno selamat dari kejadian itu. Namun, puluhan korban tak berdosa menjadi korban. Kemudian saat hari raya Idul Adha percobaan pembunuhan kepada Bung Karno kembali terjadi.
Bung Karno yang kala itu tengah melaksanakan salat Idul Kurban bersama umat muslim lainnya di lapangan rumput Istana Merdeka, tiba-tiba mendapat berondongan tembakan dari seorang pria. Namun, Bung Karno kembali selamat.

Untuk menumpas gerakan sahabatnya itu, Bung Karno kemudian mengirimkan tentara dari Divisi Siliwangi dan satuan-satuan lain. Kartosoewirjo akhirnya berhasil ditangkap di Gunung Geber, Jawa Barat, pada 4 Juni 1962 dan dieksekusi mati tiga bulan kemudian.


Hari Terakhir Kartosuwiryo

Apa yang ada di kepala anda, saat melihat rangkaian foto yang merekam hari terakhir kehidupan seseorang dan diakhiri dengan berondongan peluru regu tembak?
Saya bergidik. Buku foto bersampul hijau itu berisi 81 foto hari terakhir Kartosuwiryo, Pimpinan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia, mulai dari pertemuan terakhir Kartosoewirjo dengan istri dan lima anaknya, makan siang, perjalanannya ke pulau Ubi (kepulauan Seribu), hingga eksekusi oleh regu tembak dan pemakamannya.

Kartosuwiryo dieksekusi pada tanggal 16 September 1962. Kematiannya menjadi misteri selama 50 tahun. Selama ini masyarakat bahkan keluarganya percaya bahwa Kartosuwiryo dieksekusi lalu dimakamkan di pulau Onrust, kepulauan Seribu. Tidak ada bukti atau rekam sejarah apa pun yang membuktikan hal ini, hingga pada bulan September 2012, Fadli Zon menerbitkan buku foto berjudul “Hari Terakhir Kartosuwiryo.”
Rangkaian foto dalam buku itu membuat saya terlempar ke masa lalu, seolah ikut menyaksikan secara langsung peristiwa mengerikan itu. Mengikuti perjalanan sang imam besar melangkah menuju tiang eksekusinya dengan mata tertutup untuk ditembak mati disana menggetarkan mental saya. Foto-foto yang diambil secara berurutan itu mampu berbicara, bercerita tanpa caption. Tidak diketahui siapa fotografernya, tapi menurut Fadli Zon dalam catatannya di buku tersebut, sangat mungkin diambil oleh salah satu anggota TNI yang bertugas hari itu.
Dari seluruh rangkaian foto dalam buku itu, ada satu foto yang paling menarik perhatian saya. Foto dengan emosi dan cerita terkuat.

Gila.
Foto diatas memperlihatkan kepala regu tembak yang memastikan kematian Kartosuwiryo dengan sebuah tembakan di kepalanya. Sebelumnya, berondongan peluru dari 12 orang anggota regu tembak telah menembus tubuh ringkih Kartosuwiryo. Mental kepala regu ini luar biasa. Saya tidak bisa membayangkan persiapan yang dilakukannya sebelum menarik pelatuk pistolnya, lalu menghadapi serangan batin pasca eksekusi itu. Mungkin mentalnya dilatih layaknya Jason Bourne.
Bagaimana dengan Kartosuwiryo? Dia menghadapi kematiannya dengan berani. Bagi seorang muslim yang percaya bahwa dirinya sedang berjihad, kematian adalah kemenangan. Mungkin itu yang memberinya kekuatan sedemikian besar, hingga tidak terlihat wajah cemas atau takut pada rangkaian foto sebelumnya. Pun dalam kondisi sekarat setelah ditembus peluru regu tembak, kepalanya masih tetap tegak. Menantang. Berusaha menghembuskan napas terakhir tanpa tunduk terhadap musuhnya. Gila.
Buku foto ini menurut saya berhasil mengungkap fakta sejarah dengan sangat nyata. Bukan hanya berdasarkan teks atau teori ngehe para sejarawan yang kadang berkesan sotoy. Foto selalu mampu berbicara lebih banyak daripada teori, selama bisa dibuktikan keasliannya dan tidak ditafsirkan secara visual semata. Ini adalah gaya baru dalam penulisan sejarah Indonesia. Buku ini adalah pionirnya.


No comments:

Post a Comment