Jejak Buncit Kartosoewirjo (1)
Dua Pulau Ubi tenggelam sebelum eksekusi
Eksekusi Kartosoewirjo. ©2012 Merdeka.com
Nama
Pulau Ubi di Kepulauan Seribu mencuat setelah peluncuran buku Hari
Terakhir Kartosoewirjo oleh Fadli Zon Library di Galeri Cipta II,
Cikini, Jakarta Pusat, Rabu pekan lalu. Buku memuat 81 foto detik-detik
terakhir pemimpin Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) itu
menginformasikan lokasi eksekusi matinya di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu,
pada 5 September 1962.
Namun, menurut Lurah Pulau Untung Jawa Agung Maulana Saleh, ada dua nama pulau itu, yakni Ubi Besar dan Ubi Kecil. “Dalam catatan kelurahan ada Pulau Ubi Kecil dan Pulau Ubi besar,” katanya saat ditemui merdeka.com kemarin dalam acara Lebaran Betawi di Kelapa Gading, Jakarta Utara.
Berdasarkan dokumen laporan warga di kantornya, Agung memastikan dua pulau itu sudah tenggelam. Data itu merupakan catatan turun-temurun Kelurahan Pulau untung Jawa. Pihaknya memantau pulau-pulau terdekat berdasarkan laporan warga yang berlayar atau mencari ikan. “Pulau Ubi Kecil tenggelam pada 1949 dan Pulau Ubi Besar hilang pada 1956,” ujar Agung.
Mulanya, Pulau Ubi Besar berpenghuni, namun karena mulai terkikis oleh ombak warga terpaksa pindah. Pilihannya adalah lokasi terdekat, yakni Pulau Untung Jawa. Bedol desa itu juga diketahui dan disetujui oleh pemerintah saat itu.
Catatan perpindahan penduduk itu ditandai dengan sebuah tugu. Di sana tercatat perpindahan berlangsung pada 13 Februari 1954. Lokasi tugu di tengah Pulau Untung Jawa. Informasi itu juga dimasukkan dalam brosur perjalanan wisata oleh Mitra Karya Club, agen yang berkantor di Pulau Untung Jawa.
“Sekitar dua tahun setelah kepindahan penduduk, Pulau Ubi Besar sudah hilang,” Kata Agung. Sedangkan hasil orolannya dengan sejumlah sesepuh di Pulau Untung Jawa, mereka tidak pernah mendengar Kartosoewirjo dieksekusi di Pulau Ubi. Bahkan, menurut dia, hampir sebagian besar penduduk di kelurahannya hanya mengetahui makam Kartosoewirjo di Pulau Onrust.
Sebelum munculnya buku itu, banyak kalangan meyakini makam Kartosoewirjo di Pulau Onrust, juga bagian dari Kepulauan Seribu. “Saya baru tahu tempat eksekusi itu di Pulau Ubi setelah dihubungi Fadli Zon sebelum peluncuran buku,” ujar Sardjono, putra bungsu Kartosoewirjo, kepada merdeka.com, Sabtu siang pekan lalu di Garut, Jawa Barat.
Tenggelamnya pulau Ubi Besar dan Ubi Kecil ini diperkuat oleh keterangan Sobirin, buruh bongkar muat di Pelabuhan Muara Angke, Jakarta Utara. Namun, dia tidak tahu kapan kedua pulau itu lenyap.
Selain karena abrasi, Sobirin memperkirakan Ubi Besar dan Ubi Kecil tenggelam lantaran penggalian pasir besar-besaran buat membangun Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta di Cengkareng, Tangerang, Banten. “Seingat saya, pasir dari Pulau Ubi dulu banyak disedot untuk membangun Bandara Soekarno-Hatta,” ujar Sobirin ditemui di lokasinya bekerja, Ahad sore lalu.
Situs Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional, www.bakorsurtanal.go.id masih mencantumkan nama dan koordinat Pulau Ubi Besar. Namun berdasarkan foto satelit, pulau itu sudah tidak ada. Sedangkan situs resmi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, www.jakarta.go.id, hanya menulis nama Pulau Ubi Kecil, bagian dari wilayah administrasi Kelurahan Pulau Untung Jawa.
Fadli Zon yakin lokasi eksekusi sekaligus pusara Kartosoewirjo di Pulau Ubi. itu berdasarkan foto dan keterangan foto yang diperoleh melalui hasil lelang. "Foto itu milik seorang kolektor," katanya saat dihubungi merdeka.com kemarin. Tapi dia menolak mengungkap identitas kolektor itu.
Dia mengakui Pulau Ubi sudah tenggelam. Dia mengaku mendengar soal itu sekitar 1990-an hingga 2000-an. Dia menambahkan stafnya sudah tiga kali ke lokasi, yakni tahun lalu, tiga bulan lalu, dan Ahad pekan lalu. "Menurut cerita Pak Sardjono, sekitar 1963-1964, ada utusan dari Bung Karno menyampaikan eksekusi dilaksanakan di Pulau Ubi," ujar Fadli.
Namun, menurut Lurah Pulau Untung Jawa Agung Maulana Saleh, ada dua nama pulau itu, yakni Ubi Besar dan Ubi Kecil. “Dalam catatan kelurahan ada Pulau Ubi Kecil dan Pulau Ubi besar,” katanya saat ditemui merdeka.com kemarin dalam acara Lebaran Betawi di Kelapa Gading, Jakarta Utara.
Berdasarkan dokumen laporan warga di kantornya, Agung memastikan dua pulau itu sudah tenggelam. Data itu merupakan catatan turun-temurun Kelurahan Pulau untung Jawa. Pihaknya memantau pulau-pulau terdekat berdasarkan laporan warga yang berlayar atau mencari ikan. “Pulau Ubi Kecil tenggelam pada 1949 dan Pulau Ubi Besar hilang pada 1956,” ujar Agung.
Mulanya, Pulau Ubi Besar berpenghuni, namun karena mulai terkikis oleh ombak warga terpaksa pindah. Pilihannya adalah lokasi terdekat, yakni Pulau Untung Jawa. Bedol desa itu juga diketahui dan disetujui oleh pemerintah saat itu.
Catatan perpindahan penduduk itu ditandai dengan sebuah tugu. Di sana tercatat perpindahan berlangsung pada 13 Februari 1954. Lokasi tugu di tengah Pulau Untung Jawa. Informasi itu juga dimasukkan dalam brosur perjalanan wisata oleh Mitra Karya Club, agen yang berkantor di Pulau Untung Jawa.
“Sekitar dua tahun setelah kepindahan penduduk, Pulau Ubi Besar sudah hilang,” Kata Agung. Sedangkan hasil orolannya dengan sejumlah sesepuh di Pulau Untung Jawa, mereka tidak pernah mendengar Kartosoewirjo dieksekusi di Pulau Ubi. Bahkan, menurut dia, hampir sebagian besar penduduk di kelurahannya hanya mengetahui makam Kartosoewirjo di Pulau Onrust.
Sebelum munculnya buku itu, banyak kalangan meyakini makam Kartosoewirjo di Pulau Onrust, juga bagian dari Kepulauan Seribu. “Saya baru tahu tempat eksekusi itu di Pulau Ubi setelah dihubungi Fadli Zon sebelum peluncuran buku,” ujar Sardjono, putra bungsu Kartosoewirjo, kepada merdeka.com, Sabtu siang pekan lalu di Garut, Jawa Barat.
Tenggelamnya pulau Ubi Besar dan Ubi Kecil ini diperkuat oleh keterangan Sobirin, buruh bongkar muat di Pelabuhan Muara Angke, Jakarta Utara. Namun, dia tidak tahu kapan kedua pulau itu lenyap.
Selain karena abrasi, Sobirin memperkirakan Ubi Besar dan Ubi Kecil tenggelam lantaran penggalian pasir besar-besaran buat membangun Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta di Cengkareng, Tangerang, Banten. “Seingat saya, pasir dari Pulau Ubi dulu banyak disedot untuk membangun Bandara Soekarno-Hatta,” ujar Sobirin ditemui di lokasinya bekerja, Ahad sore lalu.
Situs Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional, www.bakorsurtanal.go.id masih mencantumkan nama dan koordinat Pulau Ubi Besar. Namun berdasarkan foto satelit, pulau itu sudah tidak ada. Sedangkan situs resmi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, www.jakarta.go.id, hanya menulis nama Pulau Ubi Kecil, bagian dari wilayah administrasi Kelurahan Pulau Untung Jawa.
Fadli Zon yakin lokasi eksekusi sekaligus pusara Kartosoewirjo di Pulau Ubi. itu berdasarkan foto dan keterangan foto yang diperoleh melalui hasil lelang. "Foto itu milik seorang kolektor," katanya saat dihubungi merdeka.com kemarin. Tapi dia menolak mengungkap identitas kolektor itu.
Dia mengakui Pulau Ubi sudah tenggelam. Dia mengaku mendengar soal itu sekitar 1990-an hingga 2000-an. Dia menambahkan stafnya sudah tiga kali ke lokasi, yakni tahun lalu, tiga bulan lalu, dan Ahad pekan lalu. "Menurut cerita Pak Sardjono, sekitar 1963-1964, ada utusan dari Bung Karno menyampaikan eksekusi dilaksanakan di Pulau Ubi," ujar Fadli.
[fas]
Selasa, 11 September 2012 12:12:31
Jejak Buncit Kartosoewirjo (2)
Kartosoewirjo, tegas dalam soal ibadah
kartosoewirjo. blogspot.com
Sejak
munculnya buku kumpulan foto Hari Terakhir Kartosoewirjo diterbitkan
oleh Fadli Zon Library, Rabu pekan lalu, muncul informasi baru. Sejak
Tentara Nasional Indonesia (TNI) menangkap deklarator Negara Islam
Indonesia itu pada 4 Juni 1962, kabar mengenai Kartosoewirjo begitu
misterius hingga kini. Bahkan, lokasi kuburannya tidak pasti.
Alhasil, sosok Kartosoewirjo menjelma menjadi mitos. Dia diyakini bisa meramal sebuah peristiwa. Belum lagi dengan dua pusaka, keris Ki Dongkol dan Pedang Ki Rompang, dianggap bertuah dan banyak membantu dalam persembunyiannya.
Menurut Asvi Marwan Adam, sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), munculnya kumpulan foto hari-hari terakhir Kartosoewirjo seperti bertutur dengan kronologis. Foto itu sudah menunjukkan bagaimana negara memperlakukan hukuman mati kepada orang dianggap pemberontak. Meski begitu, negara memberikan hak Kartosoewiryo bertemu keluarganya sebelum dieksekusi.
Namun, Asvi masih meragukan keaslian kumpulan foto itu, termasuk keterangan di dalamnya. Ini bukan soal bagaimana menafsir sebuah sumber sejarah, namun bagaimana sumber itu perlu diuji keabsahannya.
Sedangkan Sardjono, putra bungsu Kartosoewirjo, meyakini foto-foto diperoleh Fadli Zon lewat lelang. Dia membenarkan lima kakaknya: Muhamad Darda, Tahmid Basuki, Danti, Kartika, dan Komalasari, hadir dalam pertemuan terakhir itu. “Dulu, saya sempat punya acara khusus makan bersama keluarga untuk mengenang peristiwa itu, seperti perjamuan terakhir dilakukan Nabi Isa dan murid-muridnya” ujar Sardjono.
Ketika ayahnya ditangkap, Sardjono masih berumur sekitar lima tahun. Namun, ia mengaku masih ingat saat dia bersama keluarga dan pasukan ayahnya kerap berpindah-pindah menghindari kejaran tentara. Dari Gunung Galunggung hingga Gunung Bataraguru di Garut, Jawa Barat.
Sardjono mengenang ayahnya sangat tegas menjalankan ibadah meski saat bergerilya. Kartosoewirjo tidak segan menghukum anak-anaknya yang meninggalkan salat. “Kadang hukumannya membaca istighfar tiga ribu kali dan diawasi Bapak atau salah satu anggota pasukan."
Dia belum lupa Kartosoewirjo saban malam mengikuti perkembangan berita melalui radio di gubuknya. Ukurannya cukup besar dengan tenaga dari 40 baterai. Saking beranta, radio itu harus diangkut beberapa orang. Pasukan ayahnya juga suka mencuri dengar dari luar seraya mengendap.
Buat mengusir jenuh, Kartosoewirjo meminta anak buahnya bermain reog atau monolog lucu diiringi gendang kecil. “Semoga dengan foto-foto eksekusi ini, mitos Bapak bisa hilang. Ia manusia biasa seperti yang lain,” kata Sardjono.
Merdeka.com Sabtu pekan lalu berupaya menyusuri jejak terakhir Kartosoewirjo, mulai dari lokasi penangkapannya di Gunung Galunggung hingga Hunung Geber, Majalaya, Garut. Sayangnya, Sarjono kerap lupa soal tempat-tempat pernah dijejaki ayahnya itu. Maklum saja, saat itu dia masih digendong.
Alhasil, sosok Kartosoewirjo menjelma menjadi mitos. Dia diyakini bisa meramal sebuah peristiwa. Belum lagi dengan dua pusaka, keris Ki Dongkol dan Pedang Ki Rompang, dianggap bertuah dan banyak membantu dalam persembunyiannya.
Menurut Asvi Marwan Adam, sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), munculnya kumpulan foto hari-hari terakhir Kartosoewirjo seperti bertutur dengan kronologis. Foto itu sudah menunjukkan bagaimana negara memperlakukan hukuman mati kepada orang dianggap pemberontak. Meski begitu, negara memberikan hak Kartosoewiryo bertemu keluarganya sebelum dieksekusi.
Namun, Asvi masih meragukan keaslian kumpulan foto itu, termasuk keterangan di dalamnya. Ini bukan soal bagaimana menafsir sebuah sumber sejarah, namun bagaimana sumber itu perlu diuji keabsahannya.
Sedangkan Sardjono, putra bungsu Kartosoewirjo, meyakini foto-foto diperoleh Fadli Zon lewat lelang. Dia membenarkan lima kakaknya: Muhamad Darda, Tahmid Basuki, Danti, Kartika, dan Komalasari, hadir dalam pertemuan terakhir itu. “Dulu, saya sempat punya acara khusus makan bersama keluarga untuk mengenang peristiwa itu, seperti perjamuan terakhir dilakukan Nabi Isa dan murid-muridnya” ujar Sardjono.
Ketika ayahnya ditangkap, Sardjono masih berumur sekitar lima tahun. Namun, ia mengaku masih ingat saat dia bersama keluarga dan pasukan ayahnya kerap berpindah-pindah menghindari kejaran tentara. Dari Gunung Galunggung hingga Gunung Bataraguru di Garut, Jawa Barat.
Sardjono mengenang ayahnya sangat tegas menjalankan ibadah meski saat bergerilya. Kartosoewirjo tidak segan menghukum anak-anaknya yang meninggalkan salat. “Kadang hukumannya membaca istighfar tiga ribu kali dan diawasi Bapak atau salah satu anggota pasukan."
Dia belum lupa Kartosoewirjo saban malam mengikuti perkembangan berita melalui radio di gubuknya. Ukurannya cukup besar dengan tenaga dari 40 baterai. Saking beranta, radio itu harus diangkut beberapa orang. Pasukan ayahnya juga suka mencuri dengar dari luar seraya mengendap.
Buat mengusir jenuh, Kartosoewirjo meminta anak buahnya bermain reog atau monolog lucu diiringi gendang kecil. “Semoga dengan foto-foto eksekusi ini, mitos Bapak bisa hilang. Ia manusia biasa seperti yang lain,” kata Sardjono.
Merdeka.com Sabtu pekan lalu berupaya menyusuri jejak terakhir Kartosoewirjo, mulai dari lokasi penangkapannya di Gunung Galunggung hingga Hunung Geber, Majalaya, Garut. Sayangnya, Sarjono kerap lupa soal tempat-tempat pernah dijejaki ayahnya itu. Maklum saja, saat itu dia masih digendong.
[fas]
Selasa, 11 September 2012 12:50:33
Jejak Buncit Kartosoewirjo (3)
Mencari pusara Kartosoewirjo
Kartosoewirjo. Handout/Hari Terahir Kartosoewirjo/Fadli Zon
Bagi
Sardjono, foto-foto itu sudah menjawab pertanyaan tentang eksekusi mati
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, Imam Darul Islam/Tentara Islam
Indonesia (DI/TII). Kisah hari-hari terakhir menjelang ajal, hingga
lokasi terakhir pemakaman bapaknya kian benderang. Namun bungsu dari
lima saudara ini lebih memilih berdamai dengan nasib. Tidak dendam, juga
tidak hendak menggugat pemerintah.
Namun sebagai anak, dia menyesalkan eksekusi mati kepada bapaknya. “Apa harus dieksekusi mati, sudah tua seperti itu, dipenjara juga nanti pasti mati,” kata dia kepada merdeka.com sambil menikmati makan siang di rumah makan Padang di Garut, Jawa Barat, Sabtu pekan lalu.
Kartosoewirjo ditembak mati pada 5 September 1962. Hari-hari terakhir sang imam menjelang hukuman tembak direkam jelas dalam 81 esai foto lama karya anonim, lengkap dengan keterangan gambar. Jepretan foto-foto itu dicetak dalam buku berjudul Hari Terakhir Kartosoewirdjo karya politikus Partai Gerindera, Fadli Zon. Buku diluncurkan Rabu pekan lalu.
Hingga kini siapa pemotret eksekusi tersebut belum jelas. Fadli Zon mengaku mendapatkan foto dari seorang kolektor. Dia bertemu dalam sebuah acara lelang benda-benda filateli dan numismatik bertajuk Java Auction di Hotel Redtop, Agustus 2010. Dia meyakinkan kolektor itu, foto lebih aman bila disimpan di perpustakaanya, Fadli Zon Library.
Buku setebal 91 halaman itu dianggap telah mematahkan buku-buku sejarah ihwal lokasi eksekusi dan makam sang Imam. Sardjono dan keluarga misalnya, sebelumnya menganggap bapaknya dieksekusi dan dimakamkan di Pulau Onrust, Kepulauan Seribu. Sebelum terbitnya buku itu, dia beberapa kali berziarah ke sana. Tapi kini dia harus berpikir ulang.
“Sekarang mana yang benar. Di Onrust atau di Pulau Ubi? Katanya selama ini di Onrust, saya selalu ke sana,” kata dia. Dalam keterangan foto, lokasi eksekusi mati dan pemakaman Kartosoewirjo memang ditulis di Pulau Ubi.
Dalam buku diceritakan perjalanan Kartosoewirjo menjelang eksekusi. Foto pertama bercerita tentang pertemuan keluarga, kemudian menampilkan perjalanan di dalam kapal, hingga proses eksekusi di Pulau Ubi. Juru foto mengabadikan lengkap detik-detik menjelang hukuman tembak itu. Begitu pula dengan pemakaman jenazah.
Bila dokumen foto dan keterangan-keterangan itu benar, Sardjono berharap ada penelusuran makam. Tujuannya buat mencari kebenaran lokasi makam. Menurut dia, keluarga mempunyai hak mengetahui lokasi persis pusara bapaknya. ”Tapi kami ini mau mengadu ke mana. Saya berharap ada yang mau memfasilitasi, dilakukan uji forensik, menggali makam buat mencari kebenaran,” ujarnya.
Lalu bagaimana perasaannya setelah melihat foto? ”Foto itu telah menceritakan semuanya. Masyarakat pasti bisa menyimpulkan bagaimana keadaan saat itu. Kesimpulan saya serahkan kepada masyarakat, silakan mau komentar apa,” ujarnya.
Hanya satu permintaannya, di mana sesungguhnya kubur bapaknya itu.
Namun sebagai anak, dia menyesalkan eksekusi mati kepada bapaknya. “Apa harus dieksekusi mati, sudah tua seperti itu, dipenjara juga nanti pasti mati,” kata dia kepada merdeka.com sambil menikmati makan siang di rumah makan Padang di Garut, Jawa Barat, Sabtu pekan lalu.
Kartosoewirjo ditembak mati pada 5 September 1962. Hari-hari terakhir sang imam menjelang hukuman tembak direkam jelas dalam 81 esai foto lama karya anonim, lengkap dengan keterangan gambar. Jepretan foto-foto itu dicetak dalam buku berjudul Hari Terakhir Kartosoewirdjo karya politikus Partai Gerindera, Fadli Zon. Buku diluncurkan Rabu pekan lalu.
Hingga kini siapa pemotret eksekusi tersebut belum jelas. Fadli Zon mengaku mendapatkan foto dari seorang kolektor. Dia bertemu dalam sebuah acara lelang benda-benda filateli dan numismatik bertajuk Java Auction di Hotel Redtop, Agustus 2010. Dia meyakinkan kolektor itu, foto lebih aman bila disimpan di perpustakaanya, Fadli Zon Library.
Buku setebal 91 halaman itu dianggap telah mematahkan buku-buku sejarah ihwal lokasi eksekusi dan makam sang Imam. Sardjono dan keluarga misalnya, sebelumnya menganggap bapaknya dieksekusi dan dimakamkan di Pulau Onrust, Kepulauan Seribu. Sebelum terbitnya buku itu, dia beberapa kali berziarah ke sana. Tapi kini dia harus berpikir ulang.
“Sekarang mana yang benar. Di Onrust atau di Pulau Ubi? Katanya selama ini di Onrust, saya selalu ke sana,” kata dia. Dalam keterangan foto, lokasi eksekusi mati dan pemakaman Kartosoewirjo memang ditulis di Pulau Ubi.
Dalam buku diceritakan perjalanan Kartosoewirjo menjelang eksekusi. Foto pertama bercerita tentang pertemuan keluarga, kemudian menampilkan perjalanan di dalam kapal, hingga proses eksekusi di Pulau Ubi. Juru foto mengabadikan lengkap detik-detik menjelang hukuman tembak itu. Begitu pula dengan pemakaman jenazah.
Bila dokumen foto dan keterangan-keterangan itu benar, Sardjono berharap ada penelusuran makam. Tujuannya buat mencari kebenaran lokasi makam. Menurut dia, keluarga mempunyai hak mengetahui lokasi persis pusara bapaknya. ”Tapi kami ini mau mengadu ke mana. Saya berharap ada yang mau memfasilitasi, dilakukan uji forensik, menggali makam buat mencari kebenaran,” ujarnya.
Lalu bagaimana perasaannya setelah melihat foto? ”Foto itu telah menceritakan semuanya. Masyarakat pasti bisa menyimpulkan bagaimana keadaan saat itu. Kesimpulan saya serahkan kepada masyarakat, silakan mau komentar apa,” ujarnya.
Hanya satu permintaannya, di mana sesungguhnya kubur bapaknya itu.
[fas]
Selasa, 11 September 2012 13:09:36
Takluk di Batara Guru, mati di Pulau Ubi
Kisah Soekarno teken persetujuan eksekusi mati sang sahabat karib
Melalui bukunya ‘Hari terakhir Kartosoewirjo: 81 Foto Eksekusi mati Imam DI/TII’, sejarawan dan budayawan Fadli Zon mengungkap Kartosoewirjo dieksekusi mati dan dikuburkan di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu.
Eksekusi mati terhadap Kartosoewirjo dilakukan pada September 1962 atas persetujuan Presiden Soekarno. Saat itu Bung Karno mengaku keputusan untuk menandatangani eksekusi mati itu merupakan salah satu hal terberat dalam hidupnya.
Bahkan kabarnya, sebelum Bung Karno bersedia menandatangani vonis mati itu, sang proklamator berkali-kali menyingkirkan berkas eksekusi mati Kartosoewirjo dari meja kerjanya. Hal itu dilakukannya bukan tanpa alasan, Bung Karno dan Kartosoewirjo sudah sejak lama bersahabat.
Keduanya sama-sama berguru pada orang yang sama yakni HOS Tjokroaminoto. Saat itu keduanya tinggal di sebuah rumah kontrakan milik tokoh Sarekat Islam itu.
“Di tahun 1918 ia adalah seorang sahabatku yang baik. Kami bekerja bahu membahu bersama Pak Tjokro demi kejayaan Tanah Air. Di tahun 20-an di Bandung kami tinggal bersama, makan bersama dan bermimpi bersama-sama. Tetapi ketika aku bergerak dengan landasan kebangsaan, dia berjuang semata-mata menurut azas agama Islam,” kata Soekarno dalam buku ‘Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat’ Karya Cindy Adams, Terbitan Media Pressido.
Perbedaan ideologi antara Soekarno dan Kartosoewirjo itu mengakibatkan keduanya berseberangan dan mengambil jalan masing-masing. Bahkan, Kartosoewirjo berusaha menumbangkan Soekarno dengan Pancasilanya.
Pada 7 Agustus 1949, Kartosoewirjo memproklamasikan Negara Islam Indonesia (NII) di Tasikmalaya. Dengan militansi yang dimilikinya, Kartosoewirjo melebarkan gerakan dan pengaruhnya hingga ke sebagian Pulau Jawa, Aceh, dan Sulawesi Selatan.
Saat itu, ia dengan DI/TII nya memilih hutan-hutan di pegunungan Jawa Barat sebagai basis perjuangan melawan pemerintahan Bung Karno. Sejumlah percobaan pembunuhan kepada Bung Karno pun dilakukan.
“Bunuh Soekarno. Dialah penghalang pembentukan negara Islam. Soekarno menyatakan bahwa Tuhannya orang Islam bukan hanya Tuhan. Soekarno bekerja menentang kita.Soekarno menyatakan bahwa Indonesia harus berdasarkan Pancasila, bukan Islam. Sebagai jawaban atas tantangan ini kita harus membunuh Soekarno,” kata Kartosoewirjo di tahun 1950an.
Percobaan pembunuhan terhadap Bung Karno hampir berhasil dilakukan. Empat orang pria tiba-tiba melemparkan sejumlah granat ke arah Bung Karno. Saat itu, 30 November 1957, Bung Karno baru saja selesai menghadiri acara malam amal di Perguruan Cikini.
Beruntung Bung Karno selamat dari kejadian itu. Namun, puluhan korban tak berdosa menjadi korban. Kemudian saat hari raya Idul Adha percobaan pembunuhan kepada Bung Karno kembali terjadi.
Bung Karno yang kala itu tengah melaksanakan salat Idul Kurban bersama umat muslim lainnya di lapangan rumput Istana Merdeka, tiba-tiba mendapat berondongan tembakan dari seorang pria. Namun, Bung Karno kembali selamat.
Untuk menumpas gerakan sahabatnya itu, Bung Karno kemudian mengirimkan tentara dari Divisi Siliwangi dan satuan-satuan lain. Kartosoewirjo akhirnya berhasil ditangkap di Gunung Geber, Jawa Barat, pada 4 Juni 1962 dan dieksekusi mati tiga bulan kemudian.
Hari Terakhir Kartosuwiryo
Saya bergidik. Buku foto bersampul hijau itu berisi 81 foto hari terakhir Kartosuwiryo, Pimpinan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia, mulai dari pertemuan terakhir Kartosoewirjo dengan istri dan lima anaknya, makan siang, perjalanannya ke pulau Ubi (kepulauan Seribu), hingga eksekusi oleh regu tembak dan pemakamannya.
Kartosuwiryo dieksekusi pada tanggal 16 September 1962. Kematiannya menjadi misteri selama 50 tahun. Selama ini masyarakat bahkan keluarganya percaya bahwa Kartosuwiryo dieksekusi lalu dimakamkan di pulau Onrust, kepulauan Seribu. Tidak ada bukti atau rekam sejarah apa pun yang membuktikan hal ini, hingga pada bulan September 2012, Fadli Zon menerbitkan buku foto berjudul “Hari Terakhir Kartosuwiryo.”
Rangkaian foto dalam buku itu membuat saya terlempar ke masa lalu, seolah ikut menyaksikan secara langsung peristiwa mengerikan itu. Mengikuti perjalanan sang imam besar melangkah menuju tiang eksekusinya dengan mata tertutup untuk ditembak mati disana menggetarkan mental saya. Foto-foto yang diambil secara berurutan itu mampu berbicara, bercerita tanpa caption. Tidak diketahui siapa fotografernya, tapi menurut Fadli Zon dalam catatannya di buku tersebut, sangat mungkin diambil oleh salah satu anggota TNI yang bertugas hari itu.
Dari seluruh rangkaian foto dalam buku itu, ada satu foto yang paling menarik perhatian saya. Foto dengan emosi dan cerita terkuat.
Gila.
Foto diatas memperlihatkan kepala regu tembak yang memastikan kematian Kartosuwiryo dengan sebuah tembakan di kepalanya. Sebelumnya, berondongan peluru dari 12 orang anggota regu tembak telah menembus tubuh ringkih Kartosuwiryo. Mental kepala regu ini luar biasa. Saya tidak bisa membayangkan persiapan yang dilakukannya sebelum menarik pelatuk pistolnya, lalu menghadapi serangan batin pasca eksekusi itu. Mungkin mentalnya dilatih layaknya Jason Bourne.
Bagaimana dengan Kartosuwiryo? Dia menghadapi kematiannya dengan berani. Bagi seorang muslim yang percaya bahwa dirinya sedang berjihad, kematian adalah kemenangan. Mungkin itu yang memberinya kekuatan sedemikian besar, hingga tidak terlihat wajah cemas atau takut pada rangkaian foto sebelumnya. Pun dalam kondisi sekarat setelah ditembus peluru regu tembak, kepalanya masih tetap tegak. Menantang. Berusaha menghembuskan napas terakhir tanpa tunduk terhadap musuhnya. Gila.
Buku foto ini menurut saya berhasil mengungkap fakta sejarah dengan sangat nyata. Bukan hanya berdasarkan teks atau teori ngehe para sejarawan yang kadang berkesan sotoy. Foto selalu mampu berbicara lebih banyak daripada teori, selama bisa dibuktikan keasliannya dan tidak ditafsirkan secara visual semata. Ini adalah gaya baru dalam penulisan sejarah Indonesia. Buku ini adalah pionirnya.
No comments:
Post a Comment